Pada kemarau panjang, ketika tanaman tak lagi menghijau, kamu sangat menantikan kehadiranku. Berharap aku segera mendinginkanmu. Membasahi sawah, ladang dan hutan untuk kehidupanmu. Tak jarang aku menemuimu secara khusus bermunajat pada Tuhan, memohon untuk menyegerakan kedatanganku. Tapi, aku bisa apa, Tuhan bilang padaku tunggu dulu. Aku tidak datang hari itu, lalu kamu menggerutu.
Musim berganti, dan aku mulai menghampiri. Kadang gerimis, kadang deras sekali. Kadang sebentar, kadang sepanjang hari. Tapi tak jarang aku menemui kamu mencaci. Kenapa aku datang di malam hari. Kamu bilang aku mengganggu waktumu merajut mimpi. Kalau aku datang pagi hari, kamu bilang aku mengganggu aktivitasmu mengawali hari. Kalau aku datang siang, kamu bilang cucian tak bisa kering. Kalau aku datang sore, kamu bilang aku menghambatmu pulang.
Ah, aku lelah menghadapimu. Aku tak tahu apa sebenarnya maumu. Pagi ini aku diminta Tuhan turun lama. Hingga rintik - rintikku merendam bumi, membanjiri apa yang kamu punyai. Dan seperti yang bisa aku prediksi, kamu kembali mencaci, bahkan kali ini tanpa henti. Sementara itu, aku membatin dalam hati. Terus saja mencaci, terus saja mendebatkan solusi, terus saja menangisi. Kalau kamu pikir itu semua bisa membuatku berhenti. Hei kamu, lupakah kamu pada satu hal yang pasti, kamu tidak akan pernah mampu mencegah takdir Ilahi. Dan aku menang kali ini.
Dari aku yang selalu menjadi misteri,
Hujan
Comments