Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2009

Lelah Menunggu

Aku bosan menunggu Karena kamu tak jua mendatangiku Padahal malam keseribu telah berlalu Aku lelah menunggu Karena tak ada kepastian darimu Tak ada jaminan untukku Aku jemu menunggu Karena selama ini aku hanya berteman bayang semu Berharap kau kembali padaku Kembali merajut cinta denganku Padahal kamu belum tentu berpikir sama denganku Hari ini kuputuskan untuk mengakhiri penantianku Karena, selain ujungnya sangatlah tak tentu Cintaku padamu mulai berdebu Usang dimakan waktu

Parkir dan Semua Kejanggalannya

Parkir. Hampir semua orang pernah menggunakan jasa tersebut. Baik yang legal maupun yang ilegal. Di luar fasilitas yang Anda dapatkan, saya ingin menanyakan kesan Anda tentang jasa parkir tersebut. Apa yang paling Anda ingat? Kebanyakan teman-teman saya menjawab tarifnya. Tarif parkir memang seringkali menjadi perbincangan. Mulai dari nominal hingga ke mana muaranya. Berbicara soal tarif parkir, nominal yang dibebankan atas jasa tersebut seringkali berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Untuk sepeda motor, tarifnya ada yang Rp 500, Rp 700 atau Rp 1000. Sedangkan untuk mobil Rp 1000, Rp 1500, Rp 2000. Hal tersebut tidak berlaku untuk tarif khusus di tempat-tempat tertentu seperti mal atau hotel yang menerapkan valet parking. Nah, postingan kali ini saya akan “mengungkap” keanehan-keanehan yang terjadi seputar parkir yang saya alami sendiri. Kejanggalan pertama. Kalau di tempat khusus, tarifnya khusus itu sudah wajar. Tapi kalau di tempat biasa, tarifnya berbeda, ini jelas

Sudoku Oh Sudoku

Sudoku. Itulah nama permainan yang belakangan kugandrungi. Tiap ada waktu luang aku mengerjakan permainan itu. Awalnya aku tak tertarik, selain karena pada percobaan pertama aku tak berhasil mengerjakannya, sejak dulu aku memang tidak terlalu menyukai angka. Tapi setelah menemui “kesuksesan” aku merasakan permainan in menarik untuk dicoba. Akhirnya aku ketagihan juga. Menjelang liburan akhir tahun, aku membeli bukunya. Bukan satu, tapi dua. Aku semakin tertantang olehnya. Di rumah aku bisa mengisi waktu dengan mengerjakannya. Begitu aku pikir awalnya. Tapi ternyata tak seindah yang kuduga. Di rumah, keasyikanku mengerjakannya ternyata membawa “petaka”. Orang-orang rumah memprotesnya. Mereka bosan melihat kelakuanku yang monoton itu katanya. Padahal, semua pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan sebelumnya. Makanya aku memilih untuk berkutat dengannya. Bukan karena tak mempunyai kegiatan lainnya. Tapi karena tak ada yang lebih mengasikkan jika dibandingkan dengannya. Aku akhirnya men