"Nggak terasa ya Ra, Dania sudah pergi tiga tahun. Many things have changed, like a lot. And everything would never be the same again. " Ari, menghembuskan nafasnya berat. Ada bening mengaliri pipinya, yang segera dihapusnya.
Aku memeluknya erat. Aku tahu bagaimana perasaan Ari, saudara kembarku. Istrinya meninggal selagi Arman, anaknya, masih bayi. Pendarahan hebat, membuat nyawa Dania tak tertolong. Aku masih ingat bagaimana kehamilan Dania memang sangat berat. Kelainan jantung bawaan membuat Dania harus bedrest hampir di sepanjang kehamilannya. Bisa mempertahankan janinnya sampai melahirkan adalah anugrah tak terkira buat keluarga. Namun, kepergian Dania tetaplah memberi pukulan yang hebat buat Ari.
Ari laki-laki yang tangguh. Meski hatinya runtuh dia tak mau menampakkan kesedihan pada orang lain. Ikatan batin kami sebagai saudara kembarlah yang akhirnya menguak cerita duka yang dipendamnya.
Kebetulan, aku melahirkan tiga bulan setelah kelahiran Arman. Jadilah Arman aku susui sekalian. Mama sangat membantu dalam merawat Arman dan Nikita, anakku. It's not easy to raise two children in the same time, but it's really great moment and would be unforgettable.
Sejak kepergian Dania, aku merasakan ada yang berubah pada Ari. Bukan pada sifat dan kebiasaannya. Tapi pada matanya. Tatapan mata itu kehilangan cahayanya. Meredup. Soal kerjaan sih, Ari masih pekerja keras.
Urusan percintaan, Ari sempat dekat dua kali dengan perempuan. Yang satu cuma sebatas angin lalu. Aku sih bersyukur banget nggak jadi sama yang itu, habis dia nggak suka sama anak kecil. Kalau ke rumah mama, Arman tak dianggep. Sibuk menye-menye sendiri. Ihh..
Yang kedua, mulai dekat awal tahun lalu. Seorang psikolog. Bawaannya keibuan dan suka anak-anak. Sayang, hubungan mereka terganjal restu dari ortu si perempuan setelah tahu Ari duda. Sedih rasanya. Tapi aku bisa apa, selain berdoa.
Ari masih tepekur menatap nisan Dania. Aku masih di sampingnya.
"Udah ah, yuk pulang. Kalau ngluyurnya lama tar dicariin anak - anak", katanya sambil beranjak.
Aku tak menjawab, tapi ikutan beranjak.
"Eh Ra, aku mau umroh bulan depan", ujar Ari santai.
"That's great. Sono segera ngurus tetek bengeknya"
"Sudah kok, orang aku sudah dapat tanggalnya. Ini visanya lagi diproses. Jadi bulan depan tinggal cusss"
"Kamu kok nggak pernah cerita sih soal ini? Gini ya, giliran enak-enakan nggak cerita. Giliran sedih, nongkrongin aku. Huh"
"Aku udah banyak ngrepotin kamu Ra"
"Memang", jawabku ketus.
"Aku tak pernah bisa membalasnya"
"Pastilah ituuu", aku melipat kedua tanganku di dadaku.
"Sebenarnya aku ada misi khusus ke sana. Mau curhat dan berdoa, yang khusyuk. Aku nitip Arman ya"
"Tuh kan, aku yang ketiban sampur. Trus aku dapat apa? Aku nggak mau rugi donk ya", kataku terkekeh.
"Kamu mau didoain apa? Semua doa baikku untukmu Ra, tanpa harus kamu minta. Kamu saudara kembarku, saudara kandungku satu-satunya. Kamu bukan hanya tante, tapi juga ibu buat Arman. Apa yang kamu minta, pasti aku usahakan untuk memberikan. Aku tahu Ra, hutang budiku ke kamu banyaaaaaakkk"
Air mataku meleleh. Aku menghambur ke pelukannya.
"Aku nggak minta apa-apa Ri. Doa itu sudah lebih dari cukup buat aku. Doakan saja apa yang kamu ingin doakan buat aku"
"Thanks Ra", bisik Ari.
Kami bergegas masuk mobil karena hujan mulai turun. Begitu sampai mobil, aku menghapus air mataku, memasang seat belt-ku dan memutar lagu.
"Eh kamu tadi bilang ada misi khusus buat umroh. Misi apaan? Cari istri ya?", tanyaku hati-hati.
"Salah satunya. Kamu tahu kan jadi single parent itu nggak mudah. Meski ada kamu dan Mama, aku pengen ada yang merawat Arman. Aku sendiri juga pengen punya teman hidup lagi. Dania sudah pergi, cintaku untuknya tak akan pernah mati. Tapi hidup berjalan terus, sudah saatnya bagiku untuk memulai babak baru kehidupanku". Ari menarik nafas panjang, ada kesedihan yang tertahan.
"Aku akan berdoa semoga aku dipertemukan perempuan yang tak hanya bisa menjadi istri bagiku, tapi juga jadi ibu buat Arman. Kapanpun aku dipertemukan dengannya, aku mohon jalanku dimudahkan"
"Aamiin", sahtuku semangat.
***
Sebulan kemudian, aku mengantarkan Ari ke bandara. Hari itu aku melihatnya tampil beda. Wajahnya sumringah. Dia tampak bersemangat sekali.
Setelah berpamitan, Ari melambaikan tangan. Tubuhnya menghilang di kerumunan. Aku melihat di matanya ada cahaya yang memancar. Semoga itu pertanda baik untuknya, bahwa doanya akan dikabulkan. Bahwa cahaya di matanya akan segera kembali memancar.
Comments