Akhirnya kita bertemu. Sebenarnya ini bukan yang pertama. Tapi ini yang paling istimewa. Karena akhirnya aku berhasil jalan berdua dengan kamu untuk pertama kalinya.
Sumpah, ini rasanya seperti mimpi. Meskipun memang sudah lama aku menantikan semua ini.
Jangan tanya bagaimana degup jantungku berpacu ketika aku bisa duduk dalam jarak yang begitu dekat denganmu. Degupnya berlipat dalam hitungan tak menentu. Dalam mobil yang kamu kemudikan, saat jarak tubuh kita tak lebih dari sedepa, aku bisa mencium aroma parfummu. Aroma maskulin yang ingin kuhirup lama untuk memenuhi rongga dadaku.
Lima belas menit kemudian, kita duduk berhadapan di sebuah restoran kenamaan. Ah, aku sejujurnya tak peduli soal makanan, itu sudah jadi prioritas kesekian. Yang paling penting adalah aku bisa menikmati senyummu sepuasku, tanpa ada yang mengganggu. Suara lembutmu bergaung manis di telingaku. Ibarat nyanyian merdu yang ingin kudengar sepanjang waktu.
Lima belas menit kemudian, kita duduk berhadapan di sebuah restoran kenamaan. Ah, aku sejujurnya tak peduli soal makanan, itu sudah jadi prioritas kesekian. Yang paling penting adalah aku bisa menikmati senyummu sepuasku, tanpa ada yang mengganggu. Suara lembutmu bergaung manis di telingaku. Ibarat nyanyian merdu yang ingin kudengar sepanjang waktu.
Dunia terlalu indah ketika bersamamu. Aku ingin sekali membekukan waktu bila aku mampu. Aku mau selamanya bersama kamu. Aduh, kenapa kamu secepat ini menjadi candu buatku.
Aish, kenapa aku jadi tak mampu berkata - kata? Tatapanmu menghujam jantungku dan kamu membungkam mulutku dengan suksesnya. Rangkaian kata yang aku siapkan sebelumnya tiba - tiba menguap begitu saja, entah kemana.
"Kenapa kamu diam saja, Re? Biasanya kamu rame dan ceria. Kamu nggak sakit kan?"
Aduh, jangan sampai kamu tahu kalau perutku sedang mulas dan kakiku lemas saking gugupnya.
"Ehmm.. Gak kenapa - kenapa kok", jawabku terbata - bata.
"Tapi sebenarnya matamu berbinar lho. Kaya' lagi bahagia tingkat dewa. Cerita donk sini ke aku"
Mati deh aku, kenapa mata ini bicara semaunya tanpa kompromi dulu? Aku bahagia ya jelas saja, kan kamu yang membuat hatiku melayang ke angkasa. Tak tahukah kamu tentang itu? Jangan bilang kamu tahu tapi sedang berusaha menggodaku, memaksaku untuk memberi konfirmasi soal itu. Tak tahukah kamu bahwa kamu sudah berhasil menguak isi hatiku dari mataku. Tatapanmu mejelajah santai menyusuri hatiku, mengorek informasi apa yang sedang terjadi di dalam situ.
"Rhea Anindita. I always love the way you smile. Keceriaanmu luar biasa, sampai orang di sekitarmu terbawa suasana. Apa sih resepnya bisa seceria itu?"
Deg, kamu mulai menyerangku. Hatiku luluh lantak. Tapi tolong ajari aku untuk membangun pertahanan hatiku agar tak tampak gampangan di matamu meski rasanya aku sudah tak sabar menghambur ke pelukmu.
Aish, kenapa aku jadi tak mampu berkata - kata? Tatapanmu menghujam jantungku dan kamu membungkam mulutku dengan suksesnya. Rangkaian kata yang aku siapkan sebelumnya tiba - tiba menguap begitu saja, entah kemana.
"Kenapa kamu diam saja, Re? Biasanya kamu rame dan ceria. Kamu nggak sakit kan?"
Aduh, jangan sampai kamu tahu kalau perutku sedang mulas dan kakiku lemas saking gugupnya.
"Ehmm.. Gak kenapa - kenapa kok", jawabku terbata - bata.
"Tapi sebenarnya matamu berbinar lho. Kaya' lagi bahagia tingkat dewa. Cerita donk sini ke aku"
Mati deh aku, kenapa mata ini bicara semaunya tanpa kompromi dulu? Aku bahagia ya jelas saja, kan kamu yang membuat hatiku melayang ke angkasa. Tak tahukah kamu tentang itu? Jangan bilang kamu tahu tapi sedang berusaha menggodaku, memaksaku untuk memberi konfirmasi soal itu. Tak tahukah kamu bahwa kamu sudah berhasil menguak isi hatiku dari mataku. Tatapanmu mejelajah santai menyusuri hatiku, mengorek informasi apa yang sedang terjadi di dalam situ.
"Rhea Anindita. I always love the way you smile. Keceriaanmu luar biasa, sampai orang di sekitarmu terbawa suasana. Apa sih resepnya bisa seceria itu?"
Deg, kamu mulai menyerangku. Hatiku luluh lantak. Tapi tolong ajari aku untuk membangun pertahanan hatiku agar tak tampak gampangan di matamu meski rasanya aku sudah tak sabar menghambur ke pelukmu.
"Karena senyum itu sedekah yang paling murah dan mudah", jawabku sekenanya sambil meraih segelas jus jeruk di hadapanku yang secepat kilat berpindah ke perutku demi menetralisir kegugupanku. Mulutku terkunci sementara tatapanku terpatri ke arahmu.
"A very simple yet great reason", jawabmu santai sambil mengaduk kopi di depanmu.
Pemandangan yang ingin aku lihat setiap hari, aktivitas yang sangat natural. Duh, aku mau banget membuatkan kopi untukmu. Jangankan setiap hari, setiap jam pun aku mau.
"Re, actually I have something to say...."
"Yaaaa..."
Aku melihat tanganmu bergerak mendekati tanganku. Tuhaannn, tolong aku. Bisikku dalam hati. Aku menarik nafas panjang nan berat. Kerongkonganku seperti tercekat.
Waktu seakan melambat. Aku heran kenapa tanganmu tak segera sampai ke tanganku yang mendadak dingin.
"Duaaarrrrrrrrrrr"
Tangan kita akhirnya bergenggaman erat. Aku ingin selamanya lekat. Sayangnya tangan kita bertaut ketika mencari selamat, bukan untuk mengucap janji yang mengikat. Kamu menarikku sekuat tenaga, menjauh dari kobaran api yang menjilat - jilat.
Bunyi ledakan itu membuyarkan semuanya. Kepalaku berat. Dunia menghitam, dahiku dibasahi cairan anyir yang hangat. Kejadian selanjutnya sudah tak bisa kuingat. Tak kusangka pertemuan kita hari itu berakhir di unit gawat darurat.
***
Sepuluh menit kemudian, di layar salah satu stasiun televisi:
"Selamat sore pemirsa. Breaking News kembali lagi di hadapan Anda. Salah satu restoran ternama di jalan Mutiara dilalap si jago merah. Dugaan sementara kebakaran terjadi akibat ledakan tabung elpiji dari dapur restoran. Kerugian diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Korban luka cukup banyak karena kebakaran terjadi ketika pengunjung restoran sedang ramai. Korban saat ini dilarikan ke RSU dr. Soetomo dan RS Husada Utama."
Comments