Mereka seringkali hanya melihat apa yang aku punya. Rumah, mobil, dan karier cemerlang. Mereka bilang aku sudah punya segala yang mereka impikan di saat usiaku masih muda. Tapi mereka tak pernah tahu apa yang sebenarnya aku rasa. Mereka tak pernah tahu bagaimana aku sebenarnya juga ingin seperti mereka. Punya keluarga seutuhnya.
Mimpiku untuk membangun keluarga sebenarnya sudah separuh jalan. Aku menikah dengan seseorang yang amat aku cinta. Laki - laki sederhana nan bijaksana. Kami sempat merayakan euforia ketika aku dinyatakan hamil tiga bulan setelah kami menikah. Aku masih ingat bagaimana suamiku amat sangat mencurahkan perhatian padaku dan pada calon buah hati kami. Namun, kegembiraan kami ternyata harus berakhir. Suamiku meninggal karena kecelakaan. Mimpiku untuk membesarkan buah hati bersama pupus sudah. Dia bahkan belum pernah melihat anaknya lahir.
Sekarang aku jadi single parent. It's never easy. Bukan karena aku tidak bersyukur, bukan. Selalu ada alasan untuk bersyukur kok. Toh masih banyak yang nasibnya nggak seberuntung aku. Tapiiii... deep down inside aku galau. Kadang aku berfikir untuk menikah lagi, meneruskan mimpi - mimpiku lagi. Namun, di satu sisi aku belum bisa move on. Jauh lebih susah move on ditinggal mati orang yang kita cintai daripada ditinggal kawin lagi. Why? Karena perjuangan menemukan Mr. Right wasn't easy.
Maka jangan ditanya apa yang kulakukan untuk menikam waktu. Meleburkan diri pada kesibukan. Seharian dalam hingar bingar dunia, lalu jatuh ke pelukan anak ketika malam tiba.
Hey kamu, Mr. Right yang baru akankah kita bertemu? Dalam doa aku merapalkan semua harapan. Kupasrahkan hidupku pada Yang Punya Kehidupan. Dialah yang akan menentukan, ke mana cerita hidupku akan mengalir kemudian.
Comments