Time always heals. Aku percaya filosofi itu, tentang kehebatan waktu dalam menyembuhkan luka. Tapi, entah mengapa luka itu tetap ada, kadang-kadang masih terasa. Aku tidak tahu sampai kapan luka itu masih akan terasa, sampai kapan aku masih akan menjerit ketika hal itu kembali berkelebat di otakku. Aku masih mencari tahu berapa lamakah waktu akan menunjukkan taringnya, berapa lamakah waktu yang harus kutunggu agar luka itu sembuh, benar-benar sembuh.
Entah, aku tahu kenapa aku masih juga merasakan nyeri itu, kenapa aku masih mengutukimu setiap kali aku mengingatmu. Melupakan, atau lebih tepatnya menerima keadaan, sebenarnya bukan hal baru untukku. Tapi kasus ini rasanya tak sama, selain karena setiap kasus punya keunikan masing-masing. Sebenarnya masalahnya sama dengan masalah yang harus kuhadapi sebelum kamu, aku harus moving on after falling to the bottom of my life. Kasus “Menghapus Jejakmu” adalah kasus serupa dengan kasus “Too Little Too Late”. Bedanya, pada kasus “Menghapus Jejakmu”, aku dengan “mudahnya” beranjak dari fase menyakitkan itu. Aku masih ingat bagaimana aku menyanyikan lagu itu berkali-kali dengan semangat orang sakit hati, meneriakkan setiap kata dalam lagu keras-keras. Aku benar-benar menghayati kalimat “engkau bukanlah segalaku, bukan tetap untuk hentikan langkahku“, “usai sudah semua berlalu, biarkan hujan menghapus jejakmu” dengan baik. Walau sebenarnya aku merasakan sakit yang tak tertahankan setiap kali mengingat kejadian di balik lagu itu, tapi aku terus bernyanyi, lagi, lagi dan lagi. Sampai akhirnya aku mati rasa pada kejadian dan pelakunya. Dan sekarang aku hampir tidak bereaksi apapun ketika hal itu diungkit lagi.
Tapi… Kenapa kasus “Too Litte Too Late” ini beda. Aku masih semangat menyanyikan lagu itu, selalu meneriakkan setiap kata “It’s time to move on, time will make me strong”, “U say u dream of my face but (in fact) u don’t like me”, “I give you everything but it wasn’t enough”, “in letting you go I’m loving myself” dengan penuh emosi, kebencian, dan keinginan untuk balas dendam. Aku tahu seharusnya aku tidak menyimpan kebencian macam ini, karena sebenarnya ini justru akan menyiksa diriku sendiri. Aku tak tahu, kenapa seperti ini, meski kini aku bisa memberikan statement “aku sudah cukup bahagia dengan dia yang saat ini in relationship with me”. Aku masih penasaran, makanya aku kadang-kadang masih berpikir kenapa kebencian itu terasa begitu besar. Hmmm…. Mungkin benar kata pepatah, beda anatara benci dan cinta hanyalah setipis kulit ari, bahwa perasaan cinta berubah menjadi benci dalam sekejap mata, begitu juga sebaliknya. Tapi yang jelas, ketika luka itu masih terasa, bukan berarti aku masih menyimpan cinta untukmu. Rasa itu telah menguap habis bersama air mataku yang jatuh berderai kala itu. Aku tak tahu kapan ini akan berakhir, tapi aku punya keyakinan dan harapan bahwa time will heal, like it did for me. It will do (once again) for me.
Comments