Plaaakk.. Tamparan itu kembali mendarat di mukaku. Entah untuk kesekian kalinya. Aku sudah tidak bisa menghitungnya.
"Masak gini aja nggak becus, rasanya pedas sekali. Kamu sengaja ya mau bikin perutku sakit trus masuk rumah sakit trus mati??". Plaaakkk, tamparan kedua tahu - tahu sudah mendarat di pipiku tanpa aku sadari. Lelaki yang katanya suamiku itu pergi tanpa memberiku kesempatan untuk membela diri. Aih, apa itu membela diri? Tak pernah ada kata - kata itu dalam kamus hidupku. Yang aku tahu, seorang istri harus nrimo, nggak boleh melawan, dengan berbagai alasan.
Sejak menikah setahun yang lalu, aku diputuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Aku keluar dari kantor tempatku bekerja. Praktis, itu memangkas habis koneksiku dengan dunia di luar sana, paling banter aku ke pasar di ujung kompleks. Bayangan kehidupan pernikahan yang membahagiakan ternyata hanya berumur seumur kesegaran bunga setelah dipetik dari pohonnya. Aku lebih pantas disebut sebagai pembantu, daripada disebut sebagai istri. Setiap hari bentakan dan pukulan menjadi menu harian. Tak pernah ada pujian apalagi rayuan. Pun ketika suamiku meminta dilayani, aku ditarik ke ranjang bagaikan hewan.
Sebulan terakhir suamiku mengeluh capek dengan kehidupan pernikahan kami, kekasarannya semakin menjadi. Dia mengeluhkan aku tidak lagi berguna, semua pekerjaanku buruk di matanya. Ketika aku membukakan pintu malam tadi, dia menendangku hingga aku teperosok ke kaki kursi. "Minggir, aku capek... Aku mau tidur". Darah mengalir dari keningku, tapi dia berlalu tak peduli. "Jadi perempuan jangan manja, disenggol dikit saja langsung berdarah, payaahhhh", teriaknya dari dalam kamar.
Biasanya, ketika malam tengah beranjak larut, aku masuk ke dalam kamar. Aku memeriksa selimut, pengusir nyamuk, dan suhu di ruangan. Aku selalu memastikan suamiku beristirahat dengan nyenyak. Malam ini setelah melakukan ritual itu, aku menangis di ujung pintu. Betapa hatiku pilu, bukan hanya karena perlakuan kasar yang setiap hari aku terima darinya, tapi lebih karena aku menyadari bahwa kehadiranku semakin menjadi beban untuk hidupnya.
"Selamat malam sayang, sekarang kamu bisa tenang dalam istirahatmu", bisikku dalam hati, sambil mencabut sebilah pisau yang telah menghunus nadinya. Aku sama sekali tidak membayangkan, bahwa untuk mengakhiri penderitaannya hanya diperlukan cara semudah ini.
Comments