Buku ini merupakan kumpulan kicauan Indra Herlambang yang pernah dimuat di berbagai media di mana dia menjadi kolumnis dan kontributor di sana. Bahasanya ringan, alur ceritanya mengalir begitu saja, membuat proses membacanya tidak memerlukan waktu lama. Awalnya aku mengira buku ini sejenis sama buku - bukunya Raditya Dika, namun ternyata tidak. Meskipun ada beberapa cerita yang konyol dan gebleg, buku ini tidak sekonyol buku - bukunya Raditya Dika.
Buku ini terbagi dalam empat bab dengan topik yang berbeda - beda, yaitu:
- Kicauan tentang gaya hidup, hidup gaya, dan hidup gak ya?
- Kicauan tentang single, in relationship, atau it's complicated
- Kicauan tentang Jakarta, Indonesia, dan kesehatan jiwa
- Kicauan tentang keluarga
Di setiap bab tersebut, terdapat beberapa tulisan ringan yang mudah dibaca dan dicerna. Ada yang serius, gebleg, gila. Tapi ada juga yang mellow dan bisa membuat pembacanya merenung. Kebanyakan cerita ini berkisah tentang pengalaman pribadi dan pengamatan terhadap kejadian sehari - hari. Mulai dari jaman kuliah, pekerjaan sampai masalah percintaan. Indra, menurut pendapatku, punya imajinasi yang luar biasa, berbeda dari kebayakan penulis lain. Di sini Anda akan mendapatkan bagaimana dia menganoligakan apa yang dialami atau diamatinya dengan sesuatu yang di luar dugaan. Dari sekian banyak ceritanya, ada beberapa cerita dan bagian yang aku suka, diantaranya adalah:
1. "Nyembuhin luka hati pake vodka green tea"
Cerita ini diawali dengan tag line "Love doesn't hurt. People do". Awalnya bercerita tentang salah satu temannya yang patah hati dan mencari "penyembuhan" dengan pergi ke night club. Di sana si teman tersebut menghabiskan waktu di lantai dansa dengan ditemani bergelas - gelas vodka green tea. Agak lucu ya Vodka yang notabene memabukkan dicampur dengan green tea yang konon punya banyak manfaat untuk kesehatan. Di tengah - tengah pesta tersebut, Indra, yang menurut saya pengamat sejati, diam - diam berpikir tentang patah hati dan cara menyembuhkannya, lantas menuliskan pemikirannya seperti berikut ini:
Kita adalah makhluk yang tercipta dengan sungguh sempurna. Seharusnya dalam diri kita sudah ada fitur canggih pemulih rasa luka. Apalagi hidup ini punya beragam cara untuk tiba - tiba menikam dari arah yang tdak terduga. Kalaupun bukan soal cinta, masih banyak kekecewaan yang siap menggores permukaan dinding hati dengan semena - mena. Masalah hubungan keluarga. Urusan Kerja. Pertemanan. Kesehatan. Semua menyimpan ranjau - ranjau cilik yang siap meledak setiap kali terinjak. Akan sangat menyenangkan jika kita punya mekanisme tersendiri untuk mengatasi semua kemungkinan problema yang sangat menyebalkan ini.
.... Bukankah pada akhirnya penawar sakti itu ada di dalam diri kita sendiri? Namun bagaimana mungkin kita menghadapi luka ketika sakitnya sudah tidak bisa langi dipanggul sendiri? Saya terlalu bodoh untuk tahu jawaban dari semua pertanyaan ini.
2. "Bunga Pernikahan"
Cerita ini berawal dari obrolan Indra dan beberapa orang temannya seputar pernikahan, yang pada akhirnya berujung pada bahasan bunga. Mereka punya pendapat yang berbeda - beda. Si A bilang bahwa pernikahan menunjukkan status sosial seseorang. Si B bilang bahwa untuk tahu posisi seseorang dalam jenjang pergaulan bisa dilihat dari bunga yang digunakan dalam resepsi pernikahan putra - putri mereka. Pengguna bunga plastik atau kertas menunjukkan keberadaan "di bawah" mereka yang menggunakan bunga asli. Lebih parah lagi, si B ini bilang "nikah kan soal cinta. Kalau bunganya aja palsu, jangan - jangan cintanya juga begitu". Dari sinilah Indra kembali menyuarakan aspirasinya tentang bunga pernikahan.
Apakah benar bunga yang hadir di malam resepsi itu menyimbolkan cinta mempelai yang merayakan ikatan pernikahan mereka? Jika memang begitu, seharusnya rumah tangga mereka yang menggunakan bunga palsu akan lebih lama bertahan ketimbang mereka yang menggunakan bunga asli. Karena sekuat apapun usaha kita untuk mempertahankan kesegaran sekuntum bunga dengan memotong ujungnya setiap hari atau menambahkan aspirin, cariran pemutih hingga vodka di dalam wadahnya, kesegaran bunga yang sudah dibunuh dan dipotong dari tubuhnya pasti tidak akan bisa bertahan lama. Suatu saat pasti layu, kering, atau membusuk. Sementara bunga plastik bisa "hidup" lebih panjang.
Kalau pernikahan diibaratkan dengan bunga yang hadir di malam resepsinya, mana yang lebih dipilih? Segar dan utuh tapi butuh banyak sekali upaya untuk mempertahankan kehidupannya, atau yang tahan lama dan awet tapi penuh kepalsuan?
Nah, pertanyaanku adalah gimana dengan pesta pernikahan yang menggunakan campuran antara bunga segar dan bunga palsu?? Kira - kira filosinya menjadi seperti apa?? :)
3. "Playground Maha Besar Bernama Negara"
... "Saya justru kagum dengan mekanisme kehidupan yang selalu mencari bentuk keseimbangan. Satu hal yang kurang ditambal sulam oleh hal lain yang diproduksi berlebihan" ...
4. Cagar Hantu
Bagian ini bererita tentang perayaan Hallowen yang umumnya dirayakan pada bulan Oktober. Indra dengan imajinasi gilanya "mencibir" perayaan yang berasal dari barat ini. Dia lantas berandai - andai tentang hadirnya cagar hantu di Indonesia. Alasan utamanya adalah banyaknya mitos tentang hatu yang beredar di masyarakat Indonesia, ditambah dengan jenis hantu di Indonesia yang lebih banyak jumlahnya apabila dibandingkan dengan hantu - hantu dari luar negeri. Apalagi, menurutnya, hantu - hantu lokal macam pocong, wewe gombel, pocong dan lain - lain masih jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan hantu - hantu impor macam drakula dan vampir.
5. Hilang
"... Bukankah suatu saat nanti mereka yang tercinta juga akan hilang dan pergi? Entah kapan. Entah bagaimana. Tapi pasti. Saya hanya berharap saya bisa menikmati hadir mereka selama masih bisa ..."
Meskipun begitu, aku merasa ada yang bikin kurang sreg dengan buku ini, entah kenapa. Aku hanya bisa merasa, tanpa bisa menjelaskan secara gamblang alasannya. And then, aku "cuma" berani ngasih angka tujuh untuk buku ini. Mengutip pendapat Indra dalam cerita "Dua Perangkai Bunga", "...saya andalkan saja piranti lunak dalam dada untuk memindai kadar keindahan dalam suatu karya. Saya yakin hati pasti jujur berkata apa adanya. Pun untuk menilik keindahan yang ada di depan mata. Bukankah itu yang membuat dunia berwarna? Karena semua manusia punya hati yang tidak akan sama dan dapat membacaa setiap karya dengan cara yang berbeda pula". Pendapatnya aku rasakan memang benar adanya.
Comments