Aku nggak ngerti. Tentang beberapa orang yang hidupnya selalu dipenuhi dengan iri, benci dan dengki. Setiap keputusan dan pilihan orang lain selalu dicaci. Padahal, apapun keputusan orang tersebut dia tidak akan rugi
Pagi ini aku kembali dicaci. Dicuci habis - habisan soal mahar di pernikahanku nanti. Nggak boleh ini, nggak boleh gitu. Harus seperti ini, harus seperti itu. Jujur, aku nggak mau peduli. Toh ini prerogatifku sendiri. Aku sudah menyepakati dengan calon suami. Bukankah mahar itu pemberian suami kepada istri atas dasar kerelaan pribadi? Bukan karena ada tekanan, apalagi menghindari caci maki. Aku sudah mencari berbagai referensi dan berkali - kali diskusi dengan mereka yang lebih "ahli" soal mahar ini. Sampai detik ini belum menemukan hadist yang menyebutkan mahar harus berupa apa dan berapa jumlahnya. Syarat yang aku temukan adalah mahar harus berupa materi dan memberikan manfaat. Untuk lebih jelas mengenai mahar bisa klik di sini. Penemuan inilah yang akhirnya aku jadikan pegangan. Kalau dikorelasikan dengan persyaratan yang ditetapkan, insyaallah maharku sudah memenuhi persyaratan. Untuk pemilihan ini, aku sudah mengawali dengan mengucap "Bismillahirrahmanirrahim". Selebihnya, wallahualam. Untuk penilaian manusia, itu nomor dua.
Hidup ini pilihan. Dan untuk kesekian kali, aku akan kukuh pada keputusan yang aku buat sendiri, mengabaikan segala caci makimu. Silahkan kalau kamu mau terus terusan nyinyir. Aku nggak ambil pusing. Buat aku pribadi pilihan adalah hak asasi. Hak untuk memilih adalah salah satu bentuk demokrasi, dan itu dilindungi undang - undang yang berlaku di negeri ini. Aku akan tetap bebas menentukan pilihan - pilihanku sendiri, sesuai dengan persepsi dan mimpiku sendiri, tapi aku selalu mengusahakan sebisa mungkin nggak membuat orang lain rugi. Aku setuju dengan kalimat teman saya berikut ini: "Kita tidak pernah belajar mengapresiasi. Kita terbiasa memuji diri sendiri. Maka, saat ada teman yang mendapat prestasi, atau mungkin sekedar kemajuan yang berarti, seringkali kita hanya mencibir dan iri hati. Oh, mungkin hanya selevel itu yang kita bisa" (Satrya Wibawa)
Comments