Skip to main content

Cerita Hand Phone


Sebuah benda bernama hand phone merubah cerita hidup kita. Betapa sekarang kehidupan kita tergantung padanya. Kerjaan kita sangat terbantu karena kehadirannya. Telepon, SMS, email, foto, mendengarkan musik/radio, social media dan masih banyak lagi fitur lainnya ada dalam satu benda. Luar biasa. Apalagi sekarang ini macam - macam bentuk dan harganya. Hand phone pun menjamur di mana - mana. Kemanapun siempunya pergi, selalu dibawa serta. Jarak tak lagi menjadi hambatan untuk berkomunikasi karena dengan menekan tombol "call" kita bisa ngobrol dengan mereka yang nun jauh ada di seberang sana. Ya, hand phone, berhasil membunuh jarak, waktu dan rasa. Rasa rindu pada mereka yang sudah lama kita tidak berjumpa dengannya. 

Pepatah bilang, "teknologi mendekatkan yang jauh, tapi juga menjauhkan yang dekat" memang benar adanya. Setidaknya itulah yang aku pelajari di bangku kuliah dan dari pengalaman sehari - hari yang nyata. Nggak usah jauh - jauh, contohnya banyak di sekitar kita. Pasti kita sering menjumpai dua orang duduk bareng di suatu tempat, bukannya ngobrol tapi malah asyik ngutek hand phone-nya. Entah sedang chat, SMS, email, mendengarkan musik atau eksis dengan social media. Miris sebenarnya.

Pernah satu hari aku ke kantor dengan keadaan hand phone tidak terbawa. Panik dan repot tentu saja. Semua nomor penting ada di sana, dan aku nggak hapal dan nggak mencatat semuanya. Telepon suamilah yang jadi pertolongan pertama, karena nomernya sudah ada aku hapal di luar kepala.

Lain waktu, lain cerita tentu saja. Ini tentang orang yang marah - marah atau marahan karenanya. Aku sih sering menjumpai beberapa orang memarahiku karena aku tidak mengangkat teleponnya atau tidak segera membalas pesannya. Kadang kala mereka nggak pernah mau tahu alasannya. Tahu - tahu udah marah dan ngambek gitu aja. Penjelasanku pun tidak diterima. Ya sudahlah, aku bisa apa. Mungkin hanya sebatas mengelus dada dan berdoa supaya toleransi sesama manusia itu bisa menjadi nyata. Karenan pada kenyataanya, mewujudkan konsep hak pribadi kita dibatasi oleh hak orang lain itu susah adanya. Padahal lho ya kita sudah lama mempelajarinya. Lagipula, sebenarnya kalau ada orang yang nggak mau balas pesan atau angkat telepon, itu haknya juga. Toh pulsanya dia juga. Ya suka - suka dia lho ya.

Sejujurnya aku merindukan hari tanpa hand phone. Hari dimana kita bisa ngobrol langsung tanpa perantara, tanpa jawaban yang tertunda lama. Atau kalaupun tertunda, kita masih bisa melihat ekspresi lawan bicara sehingga kita bisa menebak apa maksud hati dan pikirannya. Dan aku punya ide, satu hari dalam sebulan, hari itu harus ada. Untuk menyegarkan suasana. What a nice idea!! Aku mau coba.

Comments

Popular posts from this blog

Nasi Pupuk

Nasi Pupuk adalah Nasi Campur khas Madiun. Biasa ada di resepsi perkawinan dengan konsep tradisional, bukan prasmanan. Makanya biasa juga disebut Nasi Manten. Isinya adalah sambal goreng (bisa sambel goreng kentang, krecek, ati, daging, atau printil), opor ayam (bisa juga diganti opor telur), acar mentah dan krupuk udang. Berhubung sudah lama tidak ke mantenan tradisional, jadi aku sudah lama banget tidak menikmatinya. So, membuat sendirilah pilihannya. Soalnya tidak ada mantenan dalam waktu dekat juga. Hehehe. Alhamdulillah bisa makan dengan puas :) Happy cooking, happy eating.

Cerita Tentang Pesawat Terbang

To invent an airplane is nothing.  To build one is something.  But to fly is everything.  (Otto Lilienthal) Naik pesawat terbang buat sebagian orang adalah makanan sehari-hari. Surabaya - Jakarta bisa PP dalam sehari, lalu esoknya terbang ke kota lainnya lagi. Tapi, bagi sebagian orang naik pesawat terbang adalah kemewahan, atau malah masih sekedar harapan. Aku ingat betul, ketika aku masih kecil, sumuran anak taman kanak-kanak, aku punya cita-cita naik pesawat. Setiap kali ada pesawat terbang melintas, aku mendongakkan kepala dan melambaikan tangan.  Seusai ritual itu, aku akan bertanya "Bu, kapan aku bisa naik pesawat". "Nanti kalau kamu sudah besar, belajar yang rajin ya", jawab Ibu. Pada saat itu aku cuma mengangguk, tidak menanyakan lebih lanjut apa hubungan antara naik pesawat dengan rajin belajar. Yang pasti, mimpi itu tetap terpatri. Ketika usiaku semakin bertambah, aku menjadi lebih paham bahwa sebenarnya naik pesawat tidak masuk

[Review] Urban Wagyu: Makan Steak di Rumah

tenderloin steak rib eye steak Sejak kapan itu pengen makan steak, cuma suami keluar kota terus. Lalu, lihat feed IG kok nemu steak yang bisa delivery. Tergodalah aku untuk ikut beli di  @urbanwagyu . Mereka adalah steak house yang melayani delivery order saja, karena untuk sementara belum ada restonya. "Wah, seru nih  bisa makan steak di rumah", pikirku. Pesananku: rib eye well done, mashed potato, mixed vegies, extra grilled baby potato dg mushroom sauce. Sedangkan pesanan suami: tenderloin well done, french fries, mix vegies dengan black pepper sauce. Pesanan kami datang dengan kemasan box cokelat ala pizza dengan keterangan tentang detail pesanan di salah satu sisinya. Dagingnya dibungkus alumunium foil, saus dibungkus cup plastik dan diberikan peralatan makan dari plastik  dan dilengkapi dengan saus tomat dan sambal sachet. Reviewnya sebagai berikut: Dagingnya empuk banget, bisa dipotong dengan peralatan makan plastik. Lembut dan