Judul posting kali terinspirasi dari film terkahir yang aku tonton, tepatnya kemarin siang, yaitu Perempuan Punya Cerita. Awalnya aku sama sekali nggak tertarik buat nonton film itu, tapi berhubung tiket film-film lain sudah sold out, "terpaksalah" aku menonton film itu juga. Film tersebut berisi empat sekuel terpisah yang kesemuanya bercerita tentang ketidakadilan, kejahatan, kekejaman, kebodohan, kebejatan dan perjuangan perempuan dari empat kota yang berbeda. Ternyata, setelah melahap sekuel demi sekuel hingga habis, aku baru sadar kalau film yang tadinya aku pandang dengan sebelah mata itu, bagus, syarat makna. Kita bisa melihat banyak hal tentang perempuan, yang mungkin selama ini tidak pernah terlintas di pikiran kita.
Sebutlah cerita tentang Wulan, seorang gadis dengan keterbelakangan mental yang semakin terpuruk setelah ia diperkosa oleh berandalan kampungnya. Perjuangan seorang Sumantri, bidan desa, untuk menuntut keadilan tak membuahkan apa-apa karena aparat desa tidak terlalu meenyukainya akibat tindakannya mengaborsi seorang perempaun karena kehamilannya mengalami masalah. Dan lagi-lagi, sang pelaku menggunakan uang untuk menyelesaikan masalah. Aku sangat setuju dengan ucapan Sumantri, yang diperankan oleh Rieke Diah Pitaloka, ketika sang pelaku memberikan sejumlah uang untuk menyelesaikan masalah karena tak mau berurusan dengan pihak yang berwajib. "Uang mungkin bisa menyelesaikan masalah, namun sampai kapanpun tidak akan pernah bisa menebus kesalahan yang telah kamu lakukan". Terkesan munafik mungkin, tapi tapi itulah kenyataannya, bahwa dosa tak pernah bisa ditebus dengan uang, dan bahwa Tuhan tak pernah perlu uang sogokan untuk mengampuni dosa seorang hambanya.
Cerita kedua berasal dari Jogjakarta. Bercerita tentang degradasi moral para remaja. Mereka yang masih berseragam biru putih sudah sangat akrab dengan rokok, nikotin, film porno dan seks. Gaya pacaran mereka sungguh mengerikan. Bagaimana tidak, mereka tak "ciuman", tapi sudah pada tahap melakukan hubungan seks, bahkan bisa dibilang sudah sexually active karena kegiatan tersebut sudah menjadi "agenda" mereka. Alhasil, MBA, married by accident, menjadi ending dari "kegilaan" mereka. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan mereka yang salah dalam mengkonsumsi media massa. Bagaimana tidak, mereka yang masih sangat belia, sudah sangat akrab dengan gambar dan film porno. Alhasil, mereka tergoda juga untuk mempraktekkan apa yang mereka lihat. Aku jadi ingat teori khalayak pasif yang aku dapatkan dikuliah, which is Needle-Hypodermic Theory, yang berargumen khalayak tidak berdaya dengan apa yang diberikan media, mereka tak kuasa menolak doktrin media yang membuat khalayak "manut" pada media. Media pun menjadi guru dalam hidup mereka. Dan yang paling membuat aku prihatin adalah, di sampingku terdapat banyak anak-anak di bawah umur yang sebenarnya belum waktunya mengkonsumsi film tersebut karena bersegmen dewasa. Aku memang nggak ngerti seberapa besar pemahaman mereka tentang dunia seks, dan apa saja yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan nyata, namun aku benar-benar risih ketika mereka menjadi histeris setiap kali ada adegan yang "iya-iya". Bahkan adegan yang menurutku biasa, adegan pra ciuman di mana cowok mulai mendekatkan wajah ke sang cewek, mereka sudah sangat histeris, histeris bukan karena takut atau risi, tapi histeris karena tak sabar unuk segera menikmati adegan lanjutan, apalagi kalau bukan having sex.
Untuk hal yang satu ini, aku nggak mau bikin judgment macam-macam, aku tidak mau menjadi sok suci dengan menasehati mereka untuk keluar dari "dunia" itu. Saya justru menasehati diri sendiri dengan tetap mengatakan "Say no to free sex" and "No sex before marriage". Tindakan yang aku lakukan bukannya tidak beralasan, aku justru mendapatkan pepatah itu dari lingkungan, atas pengalaman yang benar-benar aku alami sendiri. Aku masih ingat bagaimana sahabatku kalang kabut gara-gara hamil pasca having sex dengan pacarnya. Atau terjadinya my first kiss yang berawal dari hal sepele yaitu pegangan tangan. Menurutku, sex before marriage adalah sesuatu yang berbahaya, yang bisa membawa kita pada serangkaian masalah yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Tak bisa dipungkiri, meski tak mudah diterapkan, agama adalah benteng utama untuk menghindari dunia "hitam" tersebut, selain kontrol orang tua serta tema atau lingkungan di mana yang bersangkutan tinggal. Kita memang tidak akan pernah tahu tentang suatu hal sampai kita mencobanya, tapi untuk yang ini, lebih baik nggak usah coba-coba. Sifatnya yang addicted akan menggiring kita untuk melakukan sesuatu yang lebih, dan apabila sudah terlanjur kecebur, akan susah untuk keluar dari sana. Aku sangat setuju dengan slogan yang dikampanyekan sebuah merek pembalut wanita "Kalau saling sayang, nggak akan merusak masa depan". So, once again, Say no to free sex. Stay healthy, keep virgin. No sex before marriege!!!
Comments