Sebulan ini saya belajar tentang banyak hal mengenai kehidupan dan bagaimana menjalani. Ini terjadi setelah saya mengalami sebuah masalah yang cukup complicated. Klasik memang, orang baru sadar setelah kebentur. Tapi setidaknya saya akhirnya sadar. Saya mau belajar dari kesalahan yang pernah saya lakukan. Dan tekad saya adalah untuk tidak mengulanginya di kemudian hari. Jalan untuk itu tentulah tidak mudah. Karena orang terlanjur marah atau bahkan menganggap remeh. Kalau menatap sebelah mata atau malah tak mau menatap, saya bisa bersikap biasa, meski sebenarnya selalu mengurut dada. Tapi yang saya rasakan paling berat adalah saat mereka, yang merasa "punya urusan" dengan masalah ini, terus - menerus menyakiti saya. Kata - kata yang tak pantas semisal sindiran dan celaan hingga kini masih terus dilontarkan. Dan itu benar - benar menjadi ujian berat bagi saya.
Bersabar dan terus bersabar. Itulah yang saat ini saya lakukan. Saya masih belajar dan terus belajar untuk bisa melakukan itu. Karena ini melawan sifat saya yang suka berontak saat ada yang mencari gara - gara dengan saya. Saya berprinsip, saya tak mau cari gara - gara, tapi kalau ada yang cari masalah dengan saya, oke saya ladeni. Namun, prinsip itu tak berlaku lagi kini, setidaknya saya pinggirkan dulu saat ini.
Saya tanamkan erat - erat pada pikiran dan hati saya, bahwa mengalah belum tentu kalah. Dan bahwa Allah selalu bersama orang - orang yang sabar. Susahnya setengah mati, dan tak jarang saya menangis karenanya, menjerit pilu dalam hati. Saya tak pernah berhenti berdoa, agar mereka benar - benar membukakan pintu maafnya untuk saya. Sebenarnya saya sudah minta maaf, dan mereka bilang sudah memaafkan, tapi kenapa sampai sekarang masih terus - menerus meluapkan amarah yang seakan tak berkesudahan. Menurut saya maaf mereka baru di bibir saja, tapi hati belum bicara. Saya terus berdoa, dengan segenap keyakinan dan harapan. Saya percaya Gusti Allah ora sare. Allah adalah sebaik - baik hakim yang pernah ada. Saya tak perlu selalu membalas perlakuan mereka, karena Allah pasti akan membalas perbuatan itu suatu hari nanti. Entah kapan dan bagaimana caranya.
Sampai suatu malam, saya mendengar berita yang cukup mengejutkan. Salah satu dari orang yang memusuhi saya kecelakaan. Perasaan saya campur aduk saat itu. Jujur di satu sisi saya akhirnya bisa bernafas lega, karena Allah telah menunjukkan salah satu keadilan-Nya. Rasanya saya ingin nyukurin, tapi saya tak tega. Rasa manusiawi saya terpanggil. Meski luka fisiknya tak pernah mengobati luka hati saya, saya berharap ini jadi pelajaran yang berharga buatnya. Semoga dia sadar setelahnya. Dan pada sholat saya, saya menyebut namanya, memanjatkan doa demi kesembuhannya. Saya sampai meneteskan air mata dalam doa saya.
Tapi dugaan saya itu ternyata salah. Di tengah musibah yang menderanya, dia masih bisa dan terus mengeluarkan statement yang mengusik ketenangan dan kesabaran saya. Niat baik saya menanyakan kabarnya malah berujung penghapusan saya dari friend list Facebook-nya. Rasanya teramat sakit. Seperti sembilu yang dihujamkan berkali - kali ke jantung saya. Saya tak jarang menangis karenanya. Satu - satunya yang bisa saya lakukan adalah beristigfar, menghela nafas panjang demi menjaga emosi. Agar suasananya tak mengeruh. Meski kesabaran ini seringkali terasa hampir luruh. Setiap kali emosi saya sudah berada di ubun - ubun karena kelakuannya, saya kembali mengingat kalimat "sakti" yang saya jadikan pegangan.
Jujur, saya ingin mendapatkan pembelaan atau setidaknya pelurusan terhadap stigma yang terlajur menempel pada diri saya. Dia adalah juru kunci, memegang kendali atas pemulihan nama baik yang sangat saya harapkan. Tapi sepertinya dia tidak terlalu bisa diharapkan, setidaknya untuk saat ini. Sampai saat ini yang dia lakukan adalah menyuruh saya terus bersabar, hanya itu. Saya ingin berteriak, tapi sepertinya tak akan merubah keadaan. Pembawaan dan pola asuh yang dia terima sedari kecil, membuatnya lebih memilih untuk bungkam dan menurut dari pada menghindari konflik, meskipun itu memperjuangkan sesuatu yang baik. Tapi ya sudahlah, saya percaya akan kemampuan diri saya, bahwa saya masih bisa membela dan melindungi diri saya. Dengan tetap berpasrah pada yang Maha Kuasa tentunya. Allah selalu bersama saya, bersama orang - orang yang sabar. Amin..
Bersabar dan terus bersabar. Itulah yang saat ini saya lakukan. Saya masih belajar dan terus belajar untuk bisa melakukan itu. Karena ini melawan sifat saya yang suka berontak saat ada yang mencari gara - gara dengan saya. Saya berprinsip, saya tak mau cari gara - gara, tapi kalau ada yang cari masalah dengan saya, oke saya ladeni. Namun, prinsip itu tak berlaku lagi kini, setidaknya saya pinggirkan dulu saat ini.
Saya tanamkan erat - erat pada pikiran dan hati saya, bahwa mengalah belum tentu kalah. Dan bahwa Allah selalu bersama orang - orang yang sabar. Susahnya setengah mati, dan tak jarang saya menangis karenanya, menjerit pilu dalam hati. Saya tak pernah berhenti berdoa, agar mereka benar - benar membukakan pintu maafnya untuk saya. Sebenarnya saya sudah minta maaf, dan mereka bilang sudah memaafkan, tapi kenapa sampai sekarang masih terus - menerus meluapkan amarah yang seakan tak berkesudahan. Menurut saya maaf mereka baru di bibir saja, tapi hati belum bicara. Saya terus berdoa, dengan segenap keyakinan dan harapan. Saya percaya Gusti Allah ora sare. Allah adalah sebaik - baik hakim yang pernah ada. Saya tak perlu selalu membalas perlakuan mereka, karena Allah pasti akan membalas perbuatan itu suatu hari nanti. Entah kapan dan bagaimana caranya.
Sampai suatu malam, saya mendengar berita yang cukup mengejutkan. Salah satu dari orang yang memusuhi saya kecelakaan. Perasaan saya campur aduk saat itu. Jujur di satu sisi saya akhirnya bisa bernafas lega, karena Allah telah menunjukkan salah satu keadilan-Nya. Rasanya saya ingin nyukurin, tapi saya tak tega. Rasa manusiawi saya terpanggil. Meski luka fisiknya tak pernah mengobati luka hati saya, saya berharap ini jadi pelajaran yang berharga buatnya. Semoga dia sadar setelahnya. Dan pada sholat saya, saya menyebut namanya, memanjatkan doa demi kesembuhannya. Saya sampai meneteskan air mata dalam doa saya.
Tapi dugaan saya itu ternyata salah. Di tengah musibah yang menderanya, dia masih bisa dan terus mengeluarkan statement yang mengusik ketenangan dan kesabaran saya. Niat baik saya menanyakan kabarnya malah berujung penghapusan saya dari friend list Facebook-nya. Rasanya teramat sakit. Seperti sembilu yang dihujamkan berkali - kali ke jantung saya. Saya tak jarang menangis karenanya. Satu - satunya yang bisa saya lakukan adalah beristigfar, menghela nafas panjang demi menjaga emosi. Agar suasananya tak mengeruh. Meski kesabaran ini seringkali terasa hampir luruh. Setiap kali emosi saya sudah berada di ubun - ubun karena kelakuannya, saya kembali mengingat kalimat "sakti" yang saya jadikan pegangan.
Jujur, saya ingin mendapatkan pembelaan atau setidaknya pelurusan terhadap stigma yang terlajur menempel pada diri saya. Dia adalah juru kunci, memegang kendali atas pemulihan nama baik yang sangat saya harapkan. Tapi sepertinya dia tidak terlalu bisa diharapkan, setidaknya untuk saat ini. Sampai saat ini yang dia lakukan adalah menyuruh saya terus bersabar, hanya itu. Saya ingin berteriak, tapi sepertinya tak akan merubah keadaan. Pembawaan dan pola asuh yang dia terima sedari kecil, membuatnya lebih memilih untuk bungkam dan menurut dari pada menghindari konflik, meskipun itu memperjuangkan sesuatu yang baik. Tapi ya sudahlah, saya percaya akan kemampuan diri saya, bahwa saya masih bisa membela dan melindungi diri saya. Dengan tetap berpasrah pada yang Maha Kuasa tentunya. Allah selalu bersama saya, bersama orang - orang yang sabar. Amin..
Comments