Sudoku. Itulah nama permainan yang belakangan kugandrungi. Tiap ada waktu luang aku mengerjakan permainan itu. Awalnya aku tak tertarik, selain karena pada percobaan pertama aku tak berhasil mengerjakannya, sejak dulu aku memang tidak terlalu menyukai angka. Tapi setelah menemui “kesuksesan” aku merasakan permainan in menarik untuk dicoba. Akhirnya aku ketagihan juga.
Menjelang liburan akhir tahun, aku membeli bukunya. Bukan satu, tapi dua. Aku semakin tertantang olehnya. Di rumah aku bisa mengisi waktu dengan mengerjakannya. Begitu aku pikir awalnya. Tapi ternyata tak seindah yang kuduga. Di rumah, keasyikanku mengerjakannya ternyata membawa “petaka”. Orang-orang rumah memprotesnya. Mereka bosan melihat kelakuanku yang monoton itu katanya. Padahal, semua pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan sebelumnya. Makanya aku memilih untuk berkutat dengannya. Bukan karena tak mempunyai kegiatan lainnya. Tapi karena tak ada yang lebih mengasikkan jika dibandingkan dengannya.
Aku akhirnya mengalah. Bukan karena kalah. Tapi aku tak mau menerima amarah. Karena sebenarnya aku dan permainanku tak ada yang salah. Hanya persepsi yang belum searah. Toh, aku tetap bisa kembali mengerjakannya ketika mereka tak ada di rumah.
28 Desember 2008
Comments