Parkir. Hampir semua orang pernah menggunakan jasa tersebut. Baik yang legal maupun yang ilegal. Di luar fasilitas yang Anda dapatkan, saya ingin menanyakan kesan Anda tentang jasa parkir tersebut. Apa yang paling Anda ingat? Kebanyakan teman-teman saya menjawab tarifnya. Tarif parkir memang seringkali menjadi perbincangan. Mulai dari nominal hingga ke mana muaranya.
Berbicara soal tarif parkir, nominal yang dibebankan atas jasa tersebut seringkali berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Untuk sepeda motor, tarifnya ada yang Rp 500, Rp 700 atau Rp 1000. Sedangkan untuk mobil Rp 1000, Rp 1500, Rp 2000. Hal tersebut tidak berlaku untuk tarif khusus di tempat-tempat tertentu seperti mal atau hotel yang menerapkan valet parking. Nah, postingan kali ini saya akan “mengungkap” keanehan-keanehan yang terjadi seputar parkir yang saya alami sendiri.
Kejanggalan pertama. Kalau di tempat khusus, tarifnya khusus itu sudah wajar. Tapi kalau di tempat biasa, tarifnya berbeda, ini jelas lain perkara. Di wilayah pasar dekat tempat tinggal saya di Surabaya, tarif motor Rp 500 sedangkan untuk mobil Rp 1000. Tapi itu hanya berlaku di pagi hari. Malam hari, tarifnya beda lagi. Kalau malam, untuk motor Rp 1000 dan mobil Rp 2000. Menariknya, tarif tersebut berbeda antara jukir satu dengan jukir lainnya. Padahal mereka beroperasi di jalan yang sama (berhubung jalannya panjang makanya dibagi-bagi).
Kejanggalan kedua. Terjadi di areal parkir sebelah timur RSU dr. Soetomo, tepatnya di sekitar masjid dan kamar mayat. Tarifnya secara umum, siang dan malam sama yaitu Rp 1000 untuk motor dan Rp 2000 untuk mobil. Tapi di waktu-waktu tertentu menjadi berbeda. Jika Anda parkir ketika jam sholat tiba, maka Anda akan bebas biaya. Tapi kadang-kadang Anda dikenai separuh harga.
Kejanggalan ketiga. Jika saya parkir di tepi jalan yang memang dilegalkan untuk parkoir, saya seringkali tidak diberi karcis. Kalau saya minta, sang jukir seringkali menolak memberikannya. Mulai dari ketinggalan di pos, saya dianggap terlalu bawel, dan sebagainya. Saking terlalu seringnya kejadian itu menimpa saya, saya pun memilih untuk tidak mengulanginya. Males berdebat dan kadang-kadang buang-buang waktu saya.
Kejanggalan keempat. Kasus ini saya alami di Madiun, kota kelahiran saya. Di sini setiap kendaraan bermotor, baik motor maupun mobil diwajibkan mengikuti program parkir berlangganan untuk jangka waktu setahun. Biayanya Rp 7.500 untuk motor dan Rp 15000 untuk mobil. Dibayar bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan. Selanjutnya, pemilik kendaraan akan diberikan stiker khusus sebagai tanda untuk ditempelkan di kendaraan. Untuk motor biasanya ditempel di plat nomer, sedangkan mobil umumnya di kaca. Parkir ini tentu saja tak bisa digunakan di sembarang tempat yang menyediakan jasa pengelolaan parkir tersendiri seperti mall atau hotel. Dan tentu saja menjadi tak berlaku jika di gunakan di lain kota. Namun anehnya, tak semua jukir mau menerimanya. Mereka seringkali tetap menarik bayaran. Kalau Anda ngotot menolaknya, yang terjadi selanjutnya adalah adu mulut. Bahkan tak jarang pengusiran, Anda diminta pindah parkir di tempat lainnya.
Kejanggalan kelima. Berapa banyak jukir yang saat bertugas mengenakan seragam sebagai tanda pengenal? Banyak memang. Tapi yang tak bertanda pengenal jangan ditanya jumlahnya. Tak kalah banyak. Jadi keresmian jabatan dan aktivitasnya diragukan. Yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan tentang ke mana uang parkir yang Anda bayarkan berakhir. Masuk ke kas daerah atau ke kantong pribadi.
Semoga kejanggalan-kejanggalan ini menemui titik terang. Semoga pemerintah lebih memperhatikan masalah ini. Sebab parkir sendiri dikenal sebagai sumber pendapatan daerah yang sangat potensial karena memberikan sumbangan yang jumlahnya tidak sedikit. Semoga masyarakat lebih kritis menyikapi kejadian ini. Semuanya memang tak bisa instan, harus dimulai dari diri sendiri. Semoga.
Selalu ada harapan baru untuk sebuah perbaikan dan semangat baru.
Comments