Isolasi mandiri di lantai dua, tinggal di sebuah ruangan seluas 12 m², di mana rute harian hanyalah kamar, balkon dan kamar mandi. Aku bisa mendengar suara suami, anak-anak dan mbah dari atas. Mereka ada, utuh tapi tak bisa disentuh. Di situlah kadang air mataku luruh.
Waktu rasanya berjalan sangat lambat. Apalagi di awal isoman sedang tidak sholat. Berdoa saat itu terasa ada yg kurang. Aku juga merasakan kadang aku semangat, kadang ambyar. Apalagi di suatu hari kabar duka datang bertubi-tubi. Lalu ingat bahwa suatu saat nanti, namakulah yg disebut dalam pengumuman kematian itu.
Kalau aku pikir-pikir isolasi mandiri ini ibarat belajar mempersiapkan kematian. Betapa tidak, di kamar sendiri, meninggalkan orang-orang yang kita sayang, apa yang kita punya dan gemerlap dunia tak lagi berguna. Menyadarkanku bahwa sesungguhnya yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Sementara yang jauh adalah angan-angan. Aku suka lupa kalau setiap hembusan nafas adalah satu langkah mendekati kematian. Aku jadi bertanya pada diriku: Apakah bekalku sudah cukup ketika Allah memanggilku pulang?
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Q.S Al Hadid : 22-23)
Comments