Saat masih di rumah sakit pasca melahirkan Rhea, suami dapat broadcast dari grup pengurus RW kalau akan ada pelayananan pembuatan akta kelahiran dan kematian keliling oleh Dispenduk Capil Sidoarjo di kantor kecamatan kami. Wah, pas banget, rezeki nih. Jadi nggak perlu jauh-jauh ke Sidoarjo. Setelah pulang dari RS kami mulai melengkapi syarat - syarat yang diperlukan. So, inilah cerita kami berurusan dengan birokrasi Kabupaten Sidoarjo.
AKTA KELAHIRAN WNI
Mengisi formulir permohonan dan melampirkan:
a. Anak telah masuk KK (mempunyai NIK)
b. Foto copy KTP Orang Tua dan 2 orang saksi
c. Foto copy Kartu Keluarga (KK)
d. Asli Surat Kelahiran Dokter/Bidan/ Penolong Kelahiran
e. Asli Surat Keterangan Kelahiran dari Desa/Kelurahan
f. Foto copy Surat Nikah/Akta Perkawinan Orang Tua yang dilegalisir Instansi Berwenang
g. Foto copy Ijazah bagi yang telah lulus SD/SMP/SMA
First thing to do adalah mengurus surat pengantar dari RT dan RW untuk mendapatkan Surat Keterangan Lahir (SKL) dari Desa. Ketika mengurus SKL, kami akan diberi formulir pengajuan akta dan formulir penambahan anggota keluarga dalam KK. Semuanya harus dilengkapi dengan tanda tangan kepala desa atau lurah. Pengurusan di kantor desa tidak dikenai biaya. Perlu waktu sejam untuk selesai termasuk waktu yang diperlukan untuk mengantri.
Kami kemudian pergi ke kantor kecamatan untuk mengurus NIK Rhea. Ini perlu waktu lebih lama, sekitar 2,5 jam karena antrian di kecamatan waktu itu ramai. Mungkin karena mau ada pelayanan akta di kecamatan ya, jadi pada bareng ngurusnya. FYI, pelayanan akta diadakan hari Rabu, aku dan suami mengurus kelengkapannya hari Senin.
Pada saat hari H, suami berangkat duluan ke kecamatan untuk ngantri, berangkat sekitar jam 7. Aku nyusul karena masih harus nyusuin Rhea dan nyiapin Bintang sekolah. Kata suami, pas dia datang sudah ada antrian yang dibuat oleh warga yang datang, sayangnya ketika petugas kecamatan datang antrian buyar karena kata-kata "berkasnya silahkan dikumpulkan di sini", akhirnya rebutan, dorong-dorongan. huhuhu. Ya sudah, terima nasib berkasnya ada di tumpukan tengah, yang penting sudah dikumpulkan.
Acara yang diedaran dari kecamatan disebutkan mulai jam 8 pada kenyataannya baru dimulai jam 9. Kesan pertama tidak tepat waktu, alasannya adalah petugas dari Dispendukcapil perlu waktu untuk pindahan dari kantornya ke kantor kecamatan dan menyiapkan diri. Well, kenapa nggak disampaikan mulai jam 9 saja kalau begitu?
Salah seorang petugas menyampaikan bahwa hanya akan ada 50 akta kematian dan akta kelahiran yang bisa jadi hari itu dengan sistem first comes, first served. Selebihnya akta akan jadi minggu depan dan bisa diambil di kecamatan. Bagi yang berkasnya lengkap akan diberikan tanda terima untuk mengambil akta, sedangkan bagi yang tidak lengkap akan dikembalikan. Apabila bisa melengkapi sebelum jam 12 akan diproses, namun jika melewati jam 12 harus diproses ke Dispendukcapil.
Satu jam berlalu dari verifikasi berkas sudah banyak berkas pengajuan yang dikembalikan karena tidak lengkap. Baru ada sekitar 10 berkas pengajuan yang lolos dan diberikan tanda terima pengambilan nanti jam 14.00. Aku sempet deg-degan karena belum dipanggil, khawatir dengan stok ASIP untuk Rhea yang hanya satu botol. Tapi alhamdulillah sekitar jam 10.30 aku dipanggil dan dinyatakan lolos. Aku kemudian pulang dulu untuk nyusuin Rhea dan istirahat.
Jam 13.30 aku berangkat lagi ke kecamatan. Tapi ternyata penyerahan akta jadi molor. Awalnya dijanjikan jam 14.00 sesuai yang tertera di kartu tanda terima, namun ternyata baru diterimakan jam 15.00. Alhamdulillah, satu PR administrasi kependudukan Rhea selesai. Kalau sudah punya akta, selanjutnya ngurus asuransi kesehatan dan BPJS, tapi ini diurus oleh kantor suami sebagai fasilitas untuk karyawan dan keluarganya.
Pelayanan keliling seperti ini sangat membantu karena lebih dekat. Namun yang perlu diperhatikan adalah sistem antrian dan jam pelayanan, harus lebih baik lagi supaya tidak chaos. Untuk pemohon, harus lebih teliti dalam menyiapkan berkas yang disyaratkan supaya cepat beres dan akta bisa segera di tangan. Sedih lho ngelihat segitu banyak berkas ditolak karena tidak lengkap. Kalau yang tua okelah soal keterbatasan fisik dan akses informasi, tapi kalau yang masih muda bisa banget kan proaktif nanya ke kelurahan/kantor desa atau googling.
Comments