Isolasi mandiri di lantai dua, tinggal di sebuah ruangan seluas 12 m², di mana rute harian hanyalah kamar, balkon dan kamar mandi. Aku bisa mendengar suara suami, anak-anak dan mbah dari atas. Mereka ada, utuh tapi tak bisa disentuh. Di situlah kadang air mataku luruh. Waktu rasanya berjalan sangat lambat. Apalagi di awal isoman sedang tidak sholat. Berdoa saat itu terasa ada yg kurang. Aku juga merasakan kadang aku semangat, kadang ambyar. Apalagi di suatu hari kabar duka datang bertubi-tubi. Lalu ingat bahwa suatu saat nanti, namakulah yg disebut dalam pengumuman kematian itu. Kalau aku pikir-pikir isolasi mandiri ini ibarat belajar mempersiapkan kematian. Betapa tidak, di kamar sendiri, meninggalkan orang-orang yang kita sayang, apa yang kita punya dan gemerlap dunia tak lagi berguna. Menyadarkanku bahwa sesungguhnya yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Sementara yang jauh adalah angan-angan. Aku suka lupa kalau setiap hembusan nafas adalah satu langkah mendekati kema...
The future belong to those who have the courage to live their dreams